Senin, 26 November 2012

Wayang Orang



Wayang Orang merupakan bentuk perwujudan dari wayang kulit yang diperagakan oleh manusia.
Jadi kesenian wayang orang ini merupakan refleksi dari wayang kulit. Bedanya, wayang orang ini bisa bergerak dan berdialog sendiri.

Fungsi dan pementasan Wayang Orang, disamping sebagai tontonan biasa kadang-kadang juga digunakan untuk memenuhi nadzar.
Sebagaimana dalam wayang kulit, lakon yang biasa dibawakan dalam Wayang Orang juga bersumber dari Babad Purwa yaitu Mahabarata dan Ramayana. Kesenian Wayang Orang yang hidup dewasa ini pada dasarnya terdiri dari dua aliran yaitu gaya Surakarta dan gaya Yogyakarta.
Perbedaan yang ada di antara dua aliran terdapat terutama pada intonasi dialog, tan, dan kostum.
Dialog dalam Wayang Orang gaya Surakarta lebih bersifat realis sesuai dengan tingkatan emosi dan suasana yang terjadi, dan intonasinya agak bervariasi.

Dalam Wayang Orang gaya Yogyakarta dialog distilisasinya sedemikian rupa dan mempunyai pola yang monoton.

Hampir semua group Wayang Orang yang dijumpai menggunakan dialog gaya Surakarta.
Jika toh ada perbedaan, perbedaan tersebut hanya terdapat pada tarian atau kadangkadang pada kostum.
Untuk menyelenggarakan pertunjukan wayang orang secara lengkap, biasanya dibutuhkan pendukung sebanyak 35 orang, yang terdiri dan:
(1) 20 orang sebagai pemain (terdiri dari pria dan wanita);
(2) 12 orang sebagai penabuh gamelan merangkap wiraswara;
(3) 2 orang sebagai waranggana;
(4) 1 orang sebagai dalang.

Dalam pertunjukan Wayang Orang, fungsi dalang yang juga merupakan sutradara tidak seluas seperti pada wayang kulit.

Dalang wayang orang bertindak sebagai pengatur perpindahan adegan, yang ditandai dengan suara suluk atau monolog.

Dalam dialog yang diucapkan oleh pemain, sedikit sekali campur tangan dalang. Dalang hanya memberikan petunjuk-petunjuk garis besar saja. Selanjutnya pemain sendiri yang harus berimprovisasi dengan dialognya sesuai dengan alur ceritera yang telah diberikan oleh sang dalang.

Pola kostum dan make up Wayang Orang disesuaikan dengan bentuk (patron) wayang kulit, sehingga pola tersebut tidak pernah kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Pertunjukan Wayang Orang menggunakan konsep pementasan panggung yang bersifat realistis.
Setiap gerak dari pemain dilakukan dengan tarian, baik ketika masuk panggung, keluar panggung, perang ataupun yang lain-lain.

Gamelan yang dipergunakan seperti juga dalam wayang kulit adalah pelog dan slendro dan bila tidak lengkap biasanya dipakai yang slendro saja.

Lama pertunjukan wayang orang biasanya sekitar 7 atau 8 jam untuk satu lakon, biasanya dilakukan pada malam hari.

Pertunjukan pada siang hari jarang sekali dilakukan.
Sebelum pertunjukan di mulai sering ditampilkan pra-tontonan berupa atraksi tari-tarian yang disebut ekstra, yang tidak ada hubungannya dengan lakon utama.


Sumber : http://wayang.wordpress.com/2010/07/30/wayang-orang/

Kesenian Wayang Orang Kurang Diminati

Pertunjukan wayang orang yang digelar setiap Sabtu malam di Taman Budaya Raden Saleh (TBRS) Semarang selama ini kurang diminati masyarakat, sebab dari 300 kursi yang tersedia rata-rata hanya terisi 100 kursi.

Pimpinan Wayang Orang Ngesti Pandowo, Cicuk Sastrosoedirdjo, di Semarang, Kamis, mengatakan sedikitnya penonton yang menyaksikan pertunjukan wayang orang selama tiga jam tersebut karena kurang publikasi, padahal harga tiketnya hanya Rp10.000.
Namun, menurut dia, jumlah penonton tersebut tetap lebih banyak daripada tahun lalu setelah Wali Kota Semarang Sukawi Sutarip mewajibkan siswa SD, SMP, dan SMA/SMK menyaksikan wayang orang dan ketoprak.
Sebelum ada instruksi wali kota untuk melestarikan warisan budaya itu, katanya, jumlah penonton wayang orang setiap kali pertunjukan tidak sampai 100 orang.
Ia mengatakan, dengan pemasukan dari penjualan sebanyak 100 tiket, berarti pendapatan setiap pekan hanya satu juta rupiah atau empat juta rupiah sebulan.
“Kami memang mendapat bantuan dari APBD Rp33,9 juta untuk satu tahun,” katanya.
Namun, dari hasil penjualan tiket dan bantuan dari APBD yang diterima Wayang Orang Ngesti Pandowo jauh dari memadai, sebab grup seni tradisional ini harus menghidupi sekitar 100 orang yang terlibat di dalamnya.
“Kami kadang juga harus tombok untuk menutup kekurangan biaya produksi,” kata Cicuk.
Ia mengatakan meskipun uang yang dihasilkan sedikit, semangat para seniman tidak pernah surut. “Justru hal ini memotivasi mereka untuk lebih kreatif,” katanya.
Ketua Dewan Kesenian Daerah Jawa Tengah Bambang Sadono mengatakan rendahnya animo masyarakat menyaksikan wayang orang antara lain disebabkan adanya pilihan media hiburan yang beragam dan lebih praktis bahkan gratis, seperti televisi, internet, dan bioskop.
“Banyaknya pilihan itulah yang membuat animo masyarakat untuk wayang orang kurang. Kondisi sekarang beda dengan zaman dulu ketika hiburan hanya ada wayang saja,” kata Bambang yang juga Wakil Ketua DPRD Jawa Tengah.
Menurut dia, agar wayang orang tetap diminati, para pelaku seni pertunjukan tradisional ini harus lebih kreatif, terutama dalam mengemas pertunjukan, misalnya merancang panggung yang menarik, tata suara yang baik, serta ruangan yang nyaman.


Sumber : http://wayang.wordpress.com/2010/07/30/kesenian-wayang-orang-kurang-diminati/

Pembabakan Pagelaran Wayang


Pagelaran wayang (khususnya pagelaran wayang kulit purwa), seperti yang kita kenal pada masa sekarang, seringkali dipahami secara sepotong-sepotong dan tidak lengkap. Bahkan ada yang berpendapat, bahwa pagelaran wayang selalu dilakukan pada malam hari semata. Ini merupakan pemahaman yang lazim di kalangan masyarakat kita. Tetapi, apakah kita pernah memahami bagaimana sebenarnya pelaksanaan pagelaran wayang secara lengkap?

Pembabakan pagelaran, adalah pembagian pagelaran menjadi penggal-penggal waktu tertentu, yang kemudian disebut ‘babak’. Setiap babak dalam suatu pagelaran, masing-masing pada dasarnya mempunyai dukungan sejumlah unsur pembangun babak; misalnya : adegan, peran, fungsi, sifat, atau suasana tertentu; baik dalam bentuk sendiri-sendiri, maupun dalam bentuk gabungan antar sekurang-kurangnya dua unsur atau lebih.

Pada pagelaran wayang kulît pûrwâ, sebenarnya secara garis besar pembabakannya bisa digolongkan menjadi tiga; yaitu :
Babak awal (babak pembuka); biasanya merupakan berbagai permainan awal karawitan atau permainan awal ricikan gamelan yang dilakukan di luar pagelaran wayang kulît pûrwâ.
Babak pagelaran wayang kulît pûrwâ; merupakan permainan karawitan atau permainan ricikan gamelan, yang mendukung secara langsung pagelaran wayang kulît pûrwâ.
Babak akhir (babak penutup); biasanya merupakan berbagai permainan akhir karawitan atau permainan akhir ricikan gamelan yang dilakukan di luar pagelaran wayang kulît pûrwâ.
Pada pagelaran wayang kulît pûrwâ; penggal-penggal waktu yang disebut ‘babak’ itu, lebih lazim disebut ‘pathet’. Dengan demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa suatu pagelaran wayang kulît pûrwâ, penggal-penggal waktu permainannya, dapat disebut ‘pathet’.[1] Kesulitan yang kemudian segera timbul, adalah bahwa penggunaan istilah pathet, sebenarnya hanya berkenaan secara langsung dengan pembabakan waktu yang digunakan pada pagelaran wayang kulît pûrwâ saja; dan tidak ada hubungan sama sekali dengan babak lainnya, yang berada di luar kegiatan pagelaran wayang kulît pûrwâ. Ini misalnya, bisa dilihat dari penggunaan istilah babak pathet nem, babak pathet sângâ, atau babak pathet manyurâ; yang merupakan istilah baku yang sebenarnya hanya digunakan pada pagelaran wayang kulît pûrwâ.
Dengan demikian, sejumlah babak lainnya yang dilakukan di luar pagelaran wayang kulît pûrwâ, sebenarnya tidak bisa menggunakan istilah pathet. Sedangkan kenyataannya, seluruh kegiatan tersebut (dari sejak babak awal, babak pagelaran, sampai dengan babak akhir), biasanya merupakan satu kesatuan pertunjukan; yang secara umum seluruhnya itu disebut ‘pagelaran’.

Jika dikhususkan pada pagelaran wayang kulît pûrwâ, maka pelaksanaan suatu pagelaran, biasanya pembabakannya dibagi menurut pathet, adegan, atau gabungan keduanya. Disebabkan adanya kelaziman sebagai akibat kebiasaan dan tradisi yang sudah berlangsung selama berabad-abad; pembabakan pagelaran lainnya, seringkali juga mengacu (menggunakan patokan atau referensi) berupa pembabakan yang digunakan pada pagelaran wayang kulît pûrwâ. Sedangkan panjang-pendeknya rentang waktu yang digunakan pada setiap pathet atau setiap babak; biasanya lebih ditentukan oleh panjang-pendeknya adegan. Meskipun demikian, ada juga patokan kasar yang bersifat tidak terlalu mutlak harus dipenuhi atau diikuti; yang berkait langsung dengan penetapan panjang-pendek penggal-penggal waktu pada pembabakan pagelaran; khususnya yang digunakan pada pelaksanaan pagelaran wayang kulît pûrwâ.[2]

Patut dipahami pula, bahwa pada masa yang lampau, pagelaran wayang kulît pûrwâ hanya diiring menggunakan ricikan gamelan ber-laras (bertangga-nada) sléndro saja dan tidak menggunakan ricikan gamelan ber-laras (bertangga-nada) pélôg. Disebabkan oleh hal ini, maka penyebutan babak-babak dalam pagelaran wayang, umumnya menggunakan istilah-istilah yang hanya dikenal pada laras (tangga-nada) sléndro.[3] Berdasarkan hasil penelitian para pakar sejarah, penggunaan ricikan gamelan ber-laras (bertangga-nada) sléndro dan ricikan gamelan ber-laras (bertangga-nada) pélôg, untuk mengiringi pagelaran wayang kulît pûrwâ, sebenarnya baru dikenal sejak sekitar masa kerajaan Mataram dan sesudahnya; yakni setelah terjadi pengembangan sistem pagelaran wayang kulît pûrwâ dan juga perubahan/pengembangan bentuk/rupa wayang kulît pûrwâ.[4]

Pembabakan pagelaran yang didasarkan kepada pagelaran wayang kulît purwâ, merupakan suatu pembabakan yang dapat dikatakan paling lengkap susunannya. Meskipun permainan gamelan pada masa sekarang tidaklah selalu digunakan untuk mengiring pertunjukan wayang, tetapi kelaziman itu tetaplah digunakan dengan penyesuaian seperlunya. Sehingga dengan demikian, jika lengkap urutan susunan pembabakannya akan dibagi menjadi sebagai berikut:
Babak pambukâ pagelaran
Babak talu
Babak pathet nem
Babak pathet lindûr
Babak pathet sângâ
Babak pathet nyamat
Babak pathet manyurâ
Babak panutup pagelaran

Jika pembabakannya dilakukan tidak terlalu lengkap; misalnya, jika babak pathet lindûr dihilangkan atau digabungkan dengan babak pathet nem; sedangkan babak pathet nyamat dihilangkan atau digabungkan dengan babak pathet sângâ; maka urutan susunan pembabakannya akan menjadi sebagai berikut :
Babak pambukâ pagelaran
Babak talu
Babak pathet nem
Babak pathet sângâ
Babak pathet manyurâ
Babak panutup pagelaran

Jika pembabakannya lebih dipersingkat lagi, yaitu misalnya babak pambukâ pagelaran dan babak panutûp pagelaran dihilangkan; maka urutan susunan pembabakannya akan menjadi sebagai berikut :
Babak talu
Babak pathet nem
Babak pathet sângâ
Babak pathet manyurâ

Sedangkan jika pembabakannya digunakan untuk keperluan bukan pagelaran wayang, maka babak talu akan dihilangkan. Ini merupakan susunan pembabakan yang paling singkat, dan biasanya digunakan untuk berbagai jenis pagelaran; yang bukan merupakan pagelaran wayang; misalnya : pagelaran klenèngan, pagelaran uyôn-uyôn, atau sendra-tari. Dengan demikian, urutan susunan pembabakannya akan menjadi sebagai berikut :
Babak pathet nem
Babak pathet sângâ
Babak pathet manyurâ

Untuk keperluan pagelaran lainnya, tidaklah selalu mutlak harus mengikuti pola urutan susunan pembabakan seperti yang telah dijelaskan. Sebagai contoh, untuk iringan beksan (tarian) yang bersifat pethilan (cuplikan, potongan; Inggris : fragment), hanya digunakan sebagian; atau, salah satu babak saja. Demikian pula suatu konser karawitan yang digunakan untuk mengiring suatu adegan drama (drama radio, televisi, sinetron, atau film), menggunakan pembabakan yang disesuaikan dengan kebutuhan.

Dalam pelaksanaan suatu pagelaran, sangat disarankan (sangat dianjurkan) untuk mengurutkan permainan karawitan sesuai dengan pathet-pathet yang telah ditentukan. Penetapan pathet ini, berkait erat dengan suasana dan acuan nada yang tertentu, sesuai dengan pathet yang bersangkutan. Namun kenyataannya, dalam sejumlah pagelaran, kadang-kadang diketahui ada juga penyimpangan dalam hal pelaksanaannya. Misalnya, permainan karawitan sedang pada saat pathet sângâ; tetapi karena sesuatu hal, para panjak diminta untuk memainkan suatu gendhîng yang menggunakan pathet manyurâ. Meskipun kejadian ini tidak terlalu sering dan bukan merupakan kelaziman, namun sesekali terjadi juga. Kondisi ini, umumnya segera berakibat terjadinya beberapa hal, misalnya: terjadinya perubahan suasana atau terjadinya perubahan acuan nada. Selain itu, kondisi ini juga bisa berakibat terjadinya kekeliruan nada awal suara vokal (Inggris : false) yang fatal, sebagai akibat terjadinya perubahan acuan nada pada saat yang tidak tepat. Misalnya, tinggi-rendah suara/nada awal nyanyian yang dilakukan oleh panjak swârâ, bisa tidak tepat (terlalu tinggi atau terlalu rendah) pada nada yang seharusnya.

Babak pambukâ pagelaran
Sebuah pagelaran tradisional Jawa, biasanya diawali dengan permainan sejumlah gendhîng pambukâ pagelaran. Dalam hal ini, gendhîng pambukâ pagelaran adalah sejumlah gendhîng (lagu) yang dimainkan sebelum pagelaran yang sesungguhnya dimulai. Jika mengacu kepada pagelaran wayang kulît purwâ, semalam suntuk atau sehari suntuk, maka permainan sejumlah gendhîng pambukâ pagelaran lazimnya dilakukan sebelum rangkaian gendhîng talu dimainkan. Permainan gendhîng pambukâ pagelaran lazim dilakukan pada pagi hari atau pada sore hari. Tujuan utama dimainkannya sejumlah gendhîng pambukâ pagelaran, adalah untuk menyambut kedatangan para tamu, menyemarakkan dan menghangatkan suasana, sebelum pagelaran yang sesungguhnya dimulai. Selain itu, permainan gendhîng pambukâ pagelaran juga berperan memberikan tanda bahwa pagelaran akan dimulai. Di wilayah pedalaman atau pedesaan, permainan gendhîng pambukâ pagelaran seringkali dimaksudkan untuk memberitahu penduduk desa-desa lain, supaya mengetahui bahwa di desa tempat gamelan tersebut dimainkan, akan diadakan suatu pertunjukan atau pagelaran.[5]

Dari segi waktu memainkannya, gendhîng pambukâ pagelaran dapat dibagi menjadi dua kategori, yaitu klenèngan soré yang dimainkan pada sore hari; dan klenèngan ésûk yang dimainkan pada pagi hari.
Klenèngan soré; adalah suatu konser karawitan gendhîng pambukâ pagelaran yang dimainkan pada saat sore hari, menjelang malam hari. Karenanya, kemudian sering disebut klenèngan soré, pagelaran gendhîng soré, atau disingkat menjadi gendhîng soré. Penggunaan istilah klenèngan soré, mempunyai makna bahwa gendhîng-gendhîng-nya dimainkan dengan cara garap yang lebih halus. Pada pagelaran wayang kulît purwâ semalam suntuk, permainan gendhîng pambukâ pagelaran lazimnya dilakukan di antara sekitar pukul lima sore, sampai dengan sekitar pukul delapan malam; yaitu sampai saat sebelum rangkaian gendhîng talu dimainkan.

Klenèngan ésûk; adalah suatu konser karawitan gendhîng pambukâ pagelaran yang dimainkan pada saat pagi hari, menjelang siang hari. Karenanya, kemudian sering disebut sering disebut pagelaran gendhîng esûk, klenèngan énjîng, klenèngan ésûk, atau disingkat menjadi gendhîng ésûk. Penggunaan istilah klenèngan ésûk, mempunyai makna bahwa gendhîng-gendhîng-nya dimainkan dengan cara garap yang lebih halus. Pada pagelaran wayang kulît purwâ yang dilakukan pada siang hari, permainan gendhîng pambukâ pagelaran dilaksanakan di antara sekitar pukul lima pagi, sampai dengan sekitar pukul delapan pagi; yaitu sampai saat sebelum rangkaian gendhîng talu dimainkan.

Beberapa kebiasaan dan adat tradisi yang sangat baik dan seringkali diterapkan di daerah-daerah pedalaman atau pedesaan; adalah adanya berbagai kegiatan gebyakan[6] yang dilaksanakan di dalam waktu yang dialokasikan untuk memainkan gendhîng-gendhîng pambukâ pagelaran. Misalnya :
Kegiatan gebyakan karawitan; yaitu suatu pentas konser karawitan Jâwâ. Dalam kegiatan ini, penabûh atau panjak yang memainkan ricikan gamelan, biasanya diperankan oleh sekelompok atau beberapa kelompok anak-anak, pemuda, pemudi, remaja putra/putri, murid-murid sekolah setempat, ibu-ibu, atau bapak-bapak; yang sedang dalam taraf belajar nabûh gamelan (membunyikan atau menabuh ricikan gamelan) atau belajar olah karawitan.[7] Permainannya, seringkali dilakukan secara bergantian di antara mereka.
Kegiatan gebyakan beksâ; yaitu suatu pentas tari tradisional Jawa. Dalam kegiatan ini, biasanya penarinya diperankan oleh sekelompok atau beberapa kelompok anak-anak, pemuda, pemudi, remaja putra/putri, murid-murid sekolah setempat, ibu-ibu, atau bapak-bapak; yang sedang dalam taraf belajar olah beksâ[8] (tari tradisional Jawa). Permainannya, seringkali dilakukan secara bergantian di antara mereka. Karena merupakan hasil latihan dasar, maka biasanya pentas tarinya dilaksanakan dalam bentuk yang sederhana. Misalnya : berbentuk tari pethilan (Inggris : fragment), yaitu tari yang diambil dari potongan suatu cerita tertentu, atau berbentuk tari lepas.

Kegiatan gebyakan panembrâmâ;[9] yaitu pentas menyanyikan lagu atau tembang tradisional Jawa, yang dilakukan secara bersama-sama (koor). Biasanya, kegiatan ini diperankan oleh sekelompok atau beberapa kelompok anak-anak, pemuda, pemudi, remaja putra/putri, murid-murid sekolah setempat, ibu-ibu, atau bapak-bapak; yang sedang dalam taraf belajar olah swara.[10] Permainannya, seringkali dilakukan secara bergantian di antara mereka.

Kegiatan gebyakan semacam ini, biasanya dilaksanakan dengan tujuan memberikan kesempatan kepada kelompok anak-anak, pemuda, pemudi, remaja putra/putri, murid-murid sekolah setempat, ibu-ibu, atau bapak-bapak pengikut kegiatan latian (berlatih) kesenian (misalnya : karawitan atau menabuh gamelan, menari, menyanyi, dan sebagainya) di desa tersebut; untuk menunjukkan dan memamerkan hasil latian (hasil berlatih) atau hasil kegiatan berkesenian di desa tersebut, di hadapan khalayak ramai, para tamu, para pemuka desa, para sesepûh atau tetua adat, atau para pamông prâjâ (para pejabat pemerintah) setempat. Permainan gendhîng pambukâ pagelaran, diakhiri sesaat menjelang pagelaran yang sesungguhnya akan dimulai. Pada pagelaran wayang kulît purwâ, permainan gendhîng pambukâ pagelaran dihentikan pada saat rangkaian gendhîng talu hendak dimainkan; yaitu sekitar pukul delapan malam; atau, pukul delapan pagi.
Sesuai dengan tujuannya, yang diharapkan akan menyemarakkan suasana sebelum pagelaran yang sesungguhnya dimulai, serta untuk menyambut para tamu; maka komposisi gendhîng (lagu) yang dimainkan, biasanya juga dipilih yang bersuasana gembira, ramai, dan berpola permainan karawitan sederhana. Permainan gendhîng pambukâ pagelaran, biasanya juga menampilkan permainan jenis gendhîng sorân atau gendhîng bonangan.

Gendhîng sorân; atau, sering juga disebut klenèngan sorân; adalah suatu konser karawitan, yang bunyi ricikan gamelan-nya dihasilkan dengan cara memukul keras-keras; sehingga suara gendhîng (lagu) yang dihasilkan sangat sorâ (keras, kuat; Inggris : loud). Gendhîng sorân,umumnya sangat menonjolkan suara keras dan nyaring sejumlah ricikan balungan tertentu; yaitu : ricikan sarôn panembûng atau ricikan demûng, ricikan sarôn pambarûng, serta ricikan pekîng. Gendhîng sorân, biasanya mempunyai rangkaian notasi gendhîng (lagu) yang cenderung relatif sederhana, dimainkan dengan moda lâyâ tanggûng (sedang), seseg (cepat), atau lâyâ tamban (lambat); serta moda tabûh sorâ (ricikan gamelan dibunyikan dengan cara dipukul keras-keras, sehingga bunyi yang dihasilkan sangat keras/nyaring).

Gendhîng bonangan; adalah sejenis gendhîng sorân, yang permainan karawitan-nya lebih menonjolkan permainan ricikan bonang pambarûng atau ricikan bonang barûng serta ricikan bonang panerûs. Gendhîng bonangan, biasanya mempunyai rangkaian notasi gendhîng (lagu) yang cenderung relatif sederhana; dimainkan dalam moda lâyâ tanggûng (sedang) atau lâyâ tamban (lambat); serta moda tabûh sorâ (ricikan gamelan dibunyikan dengan cara dipukul keras-keras, sehingga bunyi yang dihasilkan sangat keras/nyaring).
Kedua jenis gendhîng di atas, biasanya dimainkan secara ‘instrumental’ (tidak dilengkapi vokal).
Meskipun tidak ada aturan yang secara khusus mengatur atau mengharuskan diurutkannya laras (tangga-nada) dan pathet pada permainan gendhîng pambukâ pagelaran, tetapi sangat dianjurkan untuk mengikuti pola urutan laras (tangga-nada) dan pathet yang baku dan lazim. Sehingga pada saat permainan gendhîng pambukâ pagelaran terakhir dimainkan serta kemudian diakhiri; laras dan pathet diharapkan pada kedudukan laras sléndro pathet manyurâ; atau, pada kedudukan laras pélôg pathet barang.
Dalam pemilihan pola gendhîng (lagu) yang dimainkannya, dianjurkan untuk memulai permainan gendhîng pambukâ pagelaran dengan pola gendhîng (lagu) yang sederhana; misalnya : pola lancaran; dan diakhiri dengan pola gendhîng (lagu) yang lebih rumit; misalnya : pola ladrang, pola ketawang, atau pola gendhîng kethûk loro (2) kerep. Dengan demikian, hirarki serta urutan pola susunan gendhîng, laras, dan pathet, dapat dicapai secara serasi; dimulai dari susunan gendhîng yang paling sederhana, dan diakhiri dengan gendhîng yang relatif lebih sulit susunannya.

Seperti sudah dijelaskan, pola permainan gendhîng pambukâ pagelaran biasanya sederhana, ramai, dan bersuasana gembira. Namun, pola ini lazimnya diatur sedemikian rupa, sehingga semakin mendekati saat selesai dimainkannya gendhîng pambukâ pagelaran (menjelang dimainkannya rangkaian gendhîng talu), permainan karawitan menjadi semakin tenang. Lazimnya, pemilihan gendhîng (lagu) juga diatur sedemikian rupa, sehingga menjelang usai, gendhîng (lagu) yang dimainkan dipilihkan yang dilengkapi dengan vokal (dilengkapi sindhènan dan gerôngan) dan menggunakan moda garap yang lebih halus; sehingga berkesan lebih anggun.

Pathet Nem
Bagian pertama dari pembabakan waktu pagelaran wayang, lazim disebut pathet nem. Pada awalnya pagelaran wayang kulît pûrwâ hanya menggunakan ricikan gamelan yang ber-laras (bertangga-nada) sléndro. Hal itulah yang menyebabkan berbagai istilah yang digunakan, juga berasal dari istilah-istilah yang digunakan pada laras (tangga-nada) sléndro. Meskipun kemudian pagelaran wayang kulît pûrwâ juga menggunakan laras (tangga-nada) pélôg, namun penyebutan yang menggunakan istilah berasal dari laras (tangga-nada) sléndro ini tetap dipakai; bahkan berlangsung sampai saat ini. Gendhîng-gendhîng (lagu) yang dimainkan pada babak pathet nem, khususnya pada pagelaran wayang kulît pûrwâ, umumnya juga meliputi menggunakan laras (tangga-nada) sléndro pathet nem dan laras (tangga-nada) pélôg pathet limâ.
Kadang-kadang, pada babak pathet nem juga dimainkan gendhîng-gendhîng laras (bertangga-nada) sléndro pathet manyurâ, atau bahkan gendhîng-gendhîng laras (bertangga-nada) pathet pélôg nem; yang ‘dipinjam’ untuk digunakan atau dimainkan pada babak pathet nem. Pola ini disebut ‘pathet silihan’ (pathet yang dipinjam).
Adegan-adegan yang digunakan untuk mendukung pagelaran wayang kulît pûrwâ pada pathet nem, jika dilakukan secara lengkap, terdiri atas :
Adegan jejer jangkep pathet nem
Adegan miji punggâwâ
Adegan tamu rawûh
Adegan jengkar kedhatôn/bedhôlan
Adegan gapuran
Adegan jejer kedhatôn
Adegan jejer paséban njawi
Adegan budhalan
Adegan prampôgan
Adegan jejer sabrang
Adegan budhalan sabrang
Adegan perang gagal
Adegan pathet lindûr

Adegan-adegan tersebut di atas, belum tentu seluruhnya ada (digunakan) dalam suatu pagelaran wayang; melainkan disesuaikan dengan keperluan. Setiap adegan pada pathet nem, lazimnya diiring gendhîng-gendhîng tertentu yang sesuai karakternya dengan adegan yang dimaksud. Dalam beberapa hal, gendhîng-gendhîng itu bahkan mempunyai sifat dan cara garap yang juga berbeda.

Pathet Lindûr
Babak pathet lindûr, adalah suatu adegan (bisa juga berbentuk suatu jejer) yang dilaksanakan menjelang akhir seluruh permainan babak pathet nem. Adegan pathet lindûr, biasanya merupakan adegan yang relatif pendek. Selain itu, fungsi adegan ini adalah sebagai ‘babak peralihan’ atau ‘babak transisi’; yakni dari babak pathet nem ke babak pathet sângâ. Secara hirarki pembabakan, sebenarnya babak pathet lindûr masih termasuk ke dalam babak pathet nem (masih menjadi bagian yang tak terpisahkan dari babak pathet nem). Namun jika melihat kepada fungsi dan suasana yang dibangkitkannya; maka sebenarnya babak pathet lindûr merupakan suatu babak tersendiri; yang posisinya berada di antara babak pathet nem dan babak pathet sângâ.

Jika pada adegan sebelumnya (terutama pada pertengahan babak pathet nem), pagelaran wayang lazim diiring menggunakan gendhîng-gendhîng yang umumnya sangat dinamis; maka pada adegan ini iringan menjadi sangat berbeda. Umumnya, iringan gendhîng yang digunakan pada babak pathet lindûr, mempunyai moda garap yang lebih lurûh (lebih tenang). Bahkan, sejak tahun 1970-an sampai sekarang, ada upaya untuk mengubah suasana babak pathet lindûr secara lebih extrim.[11] Sebagai contoh, pada pagelaran wayang kulît pûrwâ gagrak (gaya, corak) Surâkartâ masa sekarang, babak pathet lindûr seringkali diiring menggunakan pola permainan karawitan gagrak (gaya, corak) Mataram. Pada masa dahulu, hal ini termasuk salah satu yang ditabukan, karena dianggap ‘nerak pakem’ (melanggar aturan baku); yakni mencampur-adukkan gagrak (corak, gaya).
Istilah lindûr, berasal dari kata ‘nglindûr’; yang artinya : orang yang bermimpi, sambil mengucapkan kalimat atau kata-kata yang tidak begitu jelas. Mimpi seperti ini, biasanya berlangsung pada saat hari belum mencapai tengah malam. Memang babak pathet lindûr biasanya dimainkan pada waktu yang bersamaan dengan saat orang ‘nglindûr’; yakni menjelang tengah malam. Secara filosofis, hal ini juga berkait erat dengan alur cerita dalam pagelaran wayang, yang pada saat sampai pada babak itu, masih penuh dengan ketidak-jelasan.

Penggarapan vokal pada babak pathet lindûr, umumnya juga agak mengacu kepada kondisi orang yang sedang nglindûr. Misalnya, menggunakan lûk céngkôk atau lekuk-liku alunan suara yang irâmâ-nya relatif sangat lambat, pengucapan kalimat atau kata yang relatif panjang, dan kebanyakan juga menggunakan suara yang bernada tinggi. Kesan nglindûr ini, terasa sangat kuat (dominan), pada saat dhalang melagukan sulukan pathet lindûr; yang biasanya di-tembang-kan pada saat-saat akhir (sebagai penutup) seluruh permainan babak pathet nem; menjelang pergantian ke babak pathet sângâ.

Pathet Sângâ
Babak pathet sângâ, pada pagelaran wayang kulît pûrwâ, merupakan suatu istilah yang lazim digunakan untuk menyebut pembabakan waktu tengah pagelaran; yang menggunakan laras (tangga-nada) sléndro pathet sângâ atau laras (tangga-nada) pélôg pathet nem. Babak ini, umumnya dimainkan pada sekitar tengah malam (jika pagelaran wayang kulît pûrwâ dilaksanakan malam hari); atau pada sekitar tengah hari (jika pagelaran wayang kulît pûrwâ dilaksanakan pada siang hari).
Pada awalnya, pagelaran wayang kulît pûrwâ hanya menggunakan ricikan gamelan yang ber-laras (bertangga-nada) sléndro. Hal itulah yang menyebabkan berbagai istilah yang digunakan, berasal dari istilah-istilah yang digunakan pada laras (tangga-nada) sléndro. Meskipun kemudian pagelaran wayang kulît pûrwâ juga menggunakan laras (tangga-nada) pélôg, namun penyebutan yang menggunakan istilah berasal dari laras (tangga-nada) sléndro ini tetap dipakai.

Gendhîng-gendhîng yang dimainkan pada babak pathet sângâ, secara umum bersuasana lurûh (tenang), bernada dasar lagu rata-rata relatif agak tinggi; dengan pengecualian yang digunakan untuk mengiring beberapa adegan tertentu, yang menghendaki suasana yang lain. Disebabkan faktor sejarah dan kebiasaan, babak pathet sângâ sebagian besar diiring menggunakan gendhîng-gendhîng laras (bertangga-nada) sléndro pathet sângâ. Sementara gendhîng-gendhîng laras (bertangga-nada) pélôg pathet nem, yang secara umum bersuasana agak sereng (kurang tenang), bernada dasar lagu relatif agak tinggi; agak kurang banyak digunakan; kecuali untuk beberapa adegan tertentu yang memerlukannya.

Adegan-adegan yang digunakan untuk mendukung pagelaran wayang kulît pûrwâ pada pathet sângâ, jika lengkap terdiri dari :
Adegan jejer jangkep pathet sângâ
Adegan banyôlan
Adegan satriyâ lumaksânâ
Adegan alas-alasan
Adegan gârâ-gârâ
Adegan miji punggâwâ
Adegan perang kembang
Adegan jejer pathet nyamat

Adegan-adegan tersebut di atas, belum tentu seluruhnya ada dalam pagelaran wayang, melainkan disesuaikan dengan keperluan. Setiap adegan pada pathet sângâ, lazim diiring gendhîng-gendhîng tertentu, yang masing-masing mempunyai sifat dan cara garap yang berbeda.

Pathet Nyamat
Babak pathet nyamat, secara hirakis pembabakan, sebenarnya masih merupakan bagian yang tak terpisahkan dari babak pathet sângâ. Namun disebabkan perannya yang berfungsi sebagai transisi; babak ini seringkali dianggap berdiri sendiri di antara babak pathet sângâ dan babak pathet manyurâ.
Babak pathet nyamat, adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut suatu adegan jejer yang dilaksanakan setelah selesainya adegan perang kembang. Adegan pada babak pathet nyamat ini, seringkali digunakan sebagai peralihan (transisi) dari babak pathet sângâ ke babak pathet manyurâ. Karena merupakan babak peralihan (babak transisi), maka gendhîng yang digunakan sebagai pengiring umumnya mempunyai rangkaian notasi yang relatif pendek.

Bahkan ada dhalang yang lebih suka melakukannya dengan pendekatan yang sedikit berbeda. Misalnya, adegan jejernya dilakukan menggunakan iringan gendhîng pathet sângâ. Setelah permainan gendhîng dihentikan dan jejer dilaksanakan secukupnya (masih dalam babak pathet sângâ); kemudian di tengah-tengah ântâwacânâ (dialog) antar tokoh wayang, dhalang ‘memindahkan’ suasana dan babak secara seketika, menjadi babak pathet manyurâ menggunakan sulukan (nyanyian dhalang).

Gendhîng-gendhîng yang secara khusus digunakan untuk mengiring adegan jejer pada babak pathet nyamat, biasanya mempunyai karakter yang juga bersifat transisional. Dalam hal ini, terjadi sejumlah anomali (kelainan atau ketidak-sesuaian) yang berhubungan dengan kesepakatan/pembakuan aturan penggunaan nada-nada tertentu pada suatu pathet tertentu.

Pada sejumlah kasus, gendhîng-gendhîng yang dinyatakan sebagai gendhîng laras sléndro pathet nyamat; ada kecenderungan sudah menggunakan gông bernada nem (6); tetapi suasana gendhîng-nya secara umum masih berkesan mempunyai suasana pathet sângâ yang terasa masih sangat dominan. Untuk diketahui, penggunaan gông yang bernada nem (6); biasanya digunakan pada gendhîng-gendhîng laras sléndro pathet manyurâ atau gendhîng-gendhîng laras sléndro pathet nem; dan bukannya pada laras sléndro pathet sângâ.
Pada sejumlah kasus, gendhîng-gendhîng yang dinyatakan sebagai gendhîng laras pelôg pathet nyamat; ada kecenderungan sudah menggunakan gông bernada dhadha (3) atau barang (7); tetapi suasana gendhîng-nya secara umum masih berkesan mempunyai suasana pathet sângâ (laras pelôg pathet nem) yang terasa masih sangat dominan. Untuk diketahui, penggunaan gông yang bernada dhadha (3) atau barang (7); biasanya digunakan pada gendhîng-gendhîng laras pelôg pathet barang; dan bukannya pada laras pelôg pathet nem.
Adegan jejer pada babak pathet nyamat, tidak selalu ada pada setiap pagelaran wayang kulît pûrwâ. Penggunaannya, lebih banyak ditentukan oleh kebutuhan pagelaran dan alur cerita. Secara garis besar, babak pathet nyamat merupakan bagian paling akhir dari seluruh bagian dan adegan dari babak pathet sângâ.

Pathet Manyurâ

Babak pathet manyurâ, pada pagelaran wayang kulît pûrwâ, merupakan suatu istilah yang lazim digunakan untuk menyebut pembabakan waktu akhir pagelaran yang menggunakan laras (tangga-nada) sléndro pathet manyurâ dan laras (tangga-nada) pélôg pathet barang.
Penggunaan istilah pathet manyurâ, sebenarnya kurang tepat, karena nyatanya pada masa penggunaannya dikenal adanya pemakaian laras (tangga-nada) sléndro pathet manyurâ dan juga laras (tangga-nada) pélôg pathet barang. Namun harus kita ingat, bahwa pada masa dahulu pagelaran wayang kulît pûrwâ hanya menggunakan ricikan gamelan laras (tangga-nada) sléndro saja. Karenanya, kemudian hanya dikenal istilah ‘pathet manyurâ’, yang sebenarnya merupakan pemendekan atau berasal dari istilah ‘laras sléndro pathet manyurâ’.
Adegan-adegan yang digunakan untuk mendukung pagelaran wayang kulît pûrwâ, pada babak pathet manyurâ, jika lengkap, terdiri dari :
Adegan jejer jangkep pathet manyurâ
Adegan jejer pathet manyurâ srambahan
Adegan perang brubûh
Adegan tayungan
Adegan tancep kayôn
Adegan golèk

Setiap adegan tersebut di atas, belum tentu seluruhnya ada pada setiap pagelaran wayang kulît pûrwâ. Selain itu, setiap adegan tersebut, umumnya mempunyai gendhîng-gendhîng pengiringnya yang bersifat khas.


Panutup pagelaran
Babak panutup pagelaran, merupakan bagian terakhir dari suatu pagelaran. Babak ini, digunakan untuk menutup sebuah pagelaran. Waktu yang digunakan untuk melakukan babak ini, biasanya sangat pendek. Biasanya, dilakukan para panjak dengan cara memainkan satu buah gendhîng panutup pagelaran yang bersifat khas. Gendhîng semacam ini, biasanya dirancang dan disesuaikan dengan kelompok, grup, lembaga, instansi, dinas, perusahaan, atau organisasi kesenian para panjak. Namun, kadang-kadang bisa juga ditemukan ada sekelompok panjak yang memainkan suatu konser karawitan secara lengkap sebagai penutup suatu pagelaran, sehingga memakan waktu cukup panjang. Pada penutupan pagelaran wayang kulît pûrwâ, memainkan gendhîng panutûp pagelaran secara lengkap dan panjang, umumnya bertujuan menghabiskan waktu; atau, untuk menunggu pagi hari (setelah melakukan pagelaran wayang kulît pûrwâ semalam suntuk).
_________________________________________________________
[1] Istilah pathet, mempunyai beberapa pengertian yang berlainan makna dan artinya. Penjelasan rinci tentang pathet; dibahas pada bagian lain dari buku ini.
[2] Tentang hal ini, dibahas secara khusus pada bagian lain dari buku ini.
[3] Adanya sejumlah istilah atau sebutan pada pembabakan pagelaran, misalnya, sebutan untuk pathet; yang pada dasarnya mengacu kepada berbagai istilah yang hanya terdapat pada laras (tangga-nada) sléndro; sedikit-banyak juga membuktikan bahwa laras (tangga-nada) sléndro kemungkinan besar memang sudah ada lebih dahulu.
[4] Situasi ini terjadi sebagai akibat masuk dan berkembangnya agama Islam di pulau Jawa. Pengembangan dan perubahan bentuk/rupa wayang kulît pûrwâ oleh para wali pada masa itu, disebabkan agama Islam memerlukan media untuk melakukan penyebaran agama; sedangkan agama Islam tidak memperbolehkan penggunaan bentuk yang menyerupai manusia. Salah satu penyebabnya, adalah untuk menghindari terjadinya proses pemujaan terhadap benda-benda yang mirip manusia, sehingga bisa dianggap setara dengan pemujaan berhala. Dengan alasan itu, bentuk/rupa wayang kulît pûrwâ lalu dikembangkan, diubah, dan disederhanakan (distilasi); sehingga seperti yang kita lihat sekarang. Bentuk/rupa wayang kulît pûrwâ pada masa sebelumnya, lebih realistis, lebih mirip dengan gambar bentuk/rupa manusia dilihat dari arah samping depan.
Bentuk/rupa gambar manusia pada lukisan wayang tradisional Bali (yang sampai sekarang masih banyak dibuat orang), yang menggambarkan tokoh-tokoh atau manusia dari arah samping depan; merupakan cara penggambaran yang berasal dari ratusan tahun yang lampau, dan terbukti tidak mengalami perubahan sama sekali (hanya sarana atau alat gambar dan media gambarnya yang berubah)
Bentuk/rupa wayang kulît pûrwâ versi Jawa pada masa lampau, bisa dilihat pada wayang kulît pûrwâ versi Bali (yang masih dimainkan orang sampai saat ini). Demikian pula bentuk pagelaran wayang kulît pûrwâ versi Jawa pada masa lampau; kira-kira sama dengan bentuk pagelaran wayang kulît pûrwâ versi Bali. Seperti diketahui, bentuk/rupa awal wayang kulît pûrwâ versi Bali, pada dasarnya berasal dari pulau Jawa (khususnya Jawa Timur). Bentuk/rupa asli wayang pûrwâ versi Jawa atau versi Bali ini (berbentuk gambar orang/manusia dilihat dari samping depan), bisa dilihat pada gambar-gambar timbul (relief) di dinding candi Penataran (di Jawa Timur). Pagelaran wayang kulît pûrwâ versi Bali, hanya menggunakan ricikan gamelan ber-laras (bertangga-nada) sléndro, dan tidak menggunakan ricikan gamelan ber-laras (bertangga-nada) pélôg.
Sisa-sisa bentuk/rupa asli wayang pûrwâ, masih bisa kita kenali pada sejumlah tokoh wayang kulît pûrwâ gagrak Mataram (Yogyâkartâ). Ciri-cirinya, digambarkan mempunyai dua buah mata; wajahnya dilihat dari arah samping depan; serta mempunyai bentuk tubuhnya lebih pendek, sehingga lebih mewakili bentuk tubuh manusia dengan proporsi yang lebih realistis. Tokoh-tokoh wayang kulît pûrwâ yang bisa dianggap mewakili bentuk/rupa asli ini, misalnya : Anôman, atau tokoh-tokoh yaksâ (raksasa).
[5] Di wilayah pedalaman, suara gamelan bisa mencapai jarak yang relatif jauh (beberapa kilometer), tanpa bantuan perangkat sistem penguat suara.
[6] Gebyakan, adalah suatu kegiatan pentas, yang dilaksanakan sebagai salah satu cara untuk mempertunjukkan hasil suatu proses belajar atau berlatih, selama beberapa waktu tertentu; misalnya : pentas tari, pentas karawitan, pentas drama, pentas menyanyi, dan sebagainya.
[7] Olah karawitan, adalah belajar dan berlatih untuk menguasai berbagai segi yang berhubungan dengan karawitan atau kemampuan memainkan ricikan gamelan.
[8] Olah beksâ, adalah belajar dan berlatih untuk menguasai berbagai segi yang berhubungan dengan beksa (tari) atau kemampuan menari.
[9] Panembrâmâ, setara artinya dengan koor (menyanyi secara bersama-sama). Di Jawa Barat, lazim disebut rampak sekar.
[10] Olah swârâ, adalah belajar dan berlatih untuk menguasai berbagai segi yang berhubungan dengan seni suara atau kemampuan untuk menyanyi dan menghasilkan mutu suara yang baik.
[11] Pola mengiringi babak pathet lindûr menggunakan gendhîng dan pola permainan karawitan gagrak (gaya, corak) Mataram ini, dimulai oleh Ki Nartô Sabdô almarhum; sejak sekitar tahun 1970-an. Pada masa itu, cukup banyak kalangan pecinta seni karawitan Jawa, yang menentang upaya Ki Nartô Sabdô ini; karena dianggap ‘nerak pakem’ (melanggar aturan baku). Pada masa itu, Ki Nartô Sabdô, menggunakan dan menggabungkan berbagai pola dan gagrak (corak, gaya, mahzab) permainan karawitan secara bebas. Secara umum, sebenarnya beliau mendasarkan pola permainan karawitan-nya pada gagrak (gaya, corak) Surâkartâ. Tetapi, mungkin karena dinamika dan kreatifitasnya yang sangat tinggi, beliau bisa menggabungkan berbagai gagrak (gaya, corak) ke dalam pola permainan karawitan-nya. Misalnya, gagrak Semarang, gagrak Surâkartâ, gagrak Mataram, gagrak Jâwâ-Timûr, atau gagrak Banyumas.
Ki Nartô Sabdô almarhum, tinggal di kota Semarang (rumah beliau, di jalan Anggrek, sedikit di sebelah utara lapang Simpang Lima, yang sangat terkenal di kota Semarang). Ini mungkin juga merupakan salah satu faktor penting. Karena dengan tinggal di kota Semarang yang jauh dari pusat-pusat mahzab lainnya (misalnya : Surâkartâ atau Yogyâkartâ), maka beliau dengan mudah bisa menghindarkan diri dari terjadinya berbagai pengaruh kuat dan benturan kepentingan. Selain itu, pada masa itu tidak ada dhalang lain yang bertindak seberani Ki Nartô Sabdô almarhum, dalam hal melakukan berbagai pengubahan, pengembangan, dan pola garap karawitan. Hal ini, dikerjakan secara sangat intensif bersama kelompok (grup) keseniannya, yang bernama ‘Côndông Raôs’. Berbagai gendhîng (lagu) yang sangat khas, telah dibuat oleh Ki Nartô Sabdô. Jumlahnya, mungkin telah mencapai ratusan; dan sampai saat ini gendhîng-gendhîng hasil karyanya ternyata masih disukai dan masih digunakan orang; termasuk oleh para dhalang lainnya.

Sejak tahun 1970-an itu, karena pengaruhnya yang sangat kuat, dan karena masyarakat pencinta kesenian Jawa ternyata lebih bisa menerima dan bahkan sama sekali tidak mempersoalkannya; maka pola permainan seperti ini akhirnya diterima juga oleh berbagai kalangan lain, yang semula menentangnya. Perlu diketahui juga, bahwa pada masa itu, melalui angket yang dibuat Radio Republik Indonesia (RRI), Ki Nartô Sabdô bahkan pernah menerima ‘gelar’ sebagai dhalang paling populer (paling disukai) oleh masyarakat. Bahkan di antara dhalang-dhalang lain, lama sesudah beliau meninggal sekalipun, nama Ki Nartô Sabdô rupanya tidak bisa dihilangkan begitu saja. Ini bisa dibuktikan, dengan masih banyaknya stasiun pemancar radio (terutama stasiun pemancar radio swasta niaga) yang dengan setia menyiarkan berbagai hasil rekaman pagelaran wayang kulît pûrwâ yang dimainkan oleh Ki Nartô Sabdô almarhum; atau menyiarkan rekaman permainan karawitan-nya yang sangat khas. Pada masa ini, bahkan dengan mudah orang masih bisa membeli rekaman pagelaran wayang atau rekaman gendhîng uyôn-uyôn (dalam bentuk kaset), yang dimainkan oleh Ki Nartô Sabdô almarhum bersama kelompoknya, duapuluh atau tigapuluh tahun yang lampau.

sumber : http://wayang.wordpress.com/2011/06/02/pembabakan-pagelaran-wayang/

Sabtu, 24 November 2012

Wayang menurut Asal Daerah

Jenis-jenis wayang menurut asal daerah

Beberapa seni budaya wayang selain menggunakan bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan bahasa Bali juga ada yang menggunakan bahasa Melayu lokal seperti bahasa Betawi, bahasa Palembang, dan bahasa Banjar. Beberapa diantaranya antara lain:
  • Wayang Surakarta
  • Wayang Jawa Timur
  • Wayang Bali
  • Wayang Sasak (NTB)
  • Wayang Kulit Banjar (Kalimantan Selatan)
  • Wayang Palembang (Sumatera Selatan)
  • Wayang Betawi (Jakarta)
  • Wayang Cirebon (Jawa Barat)
  • Wayang Madura (sudah punah)
  • Wayang Siam (Kelantan, Malaysia)

Jenis Wayang

Jenis Wayang menurut pembuatannya :

Wayang Kulit

  • Wayang Purwa
    • Wayang Kulit Gagrag Yogyakarta
    • Wayang Kulit Gagrag Banyumasan
  • Wayang Madya
  • Wayang Gedog
  • Wayang Dupara
  • Wayang Wahyu
  • Wayang Suluh
  • Wayang Kancil
  • Wayang Calonarang
  • Wayang Krucil
  • Wayang Ajen
  • Wayang Sasak
  • Wayang Sadat
  • Wayang Parwa
  • Wayang Arja
  • Wayang Gambuh
  • Wayang Cupak
  • Wayang Beber

Wayang Kayu

  1. Wayang Golek/Wayang Thengul
  2. Wayang Menak
  3. Wayang Papak/Wayang Cepak
  4. Wayang Klithik
  5. Wayang Timplong
  6. Wayang Potehi

Wayang Orang

  1. Wayang Gung
  2. Wayang Topeng

Wayang Rumput

  • Wayang Suket

(Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang)

Wayang

Wayang adalah seni pertunjukan asli Indonesia yang berkembang pesat di Jawa dan Bali. Selain itu Sumatera dan Semenanjung Melaya juga memiliki beberapa budaya wayang yang dipengaruhi oelah budaya Jawa dan Hindu.

UNESCO, lembaga yang membawahi kebudayaan dari PBB, pada 7 November 2003 menetapkan wayang sebagai pertunjukkan bayangan boneka tersohor dari Indonesia, sebuah warisan mahakarya dunia yang tak ternilai dalam seni bertutur (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).

Sebenarnya, pertunjukan boneka tak hanya ada di Indonesia karena banyak pula negara lain yang memiliki pertunjukan boneka. Namun pertunjukan bayangan boneka (Wayang) di Indonesia memiliki gaya tutur dan keunikan tersendiri, yang merupakan mahakarya asli dari Indonesia. Untuk itulah UNESCO memasukannya ke dalam Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia pada tahun 2003.

Tak ada bukti yang menunjukkan wayang telah ada sebelum agama Hindu menyebar di Asia Selatan. Diperkirakan seni pertunjukan dibawa masuk oleh pedagang India. Namun demikian, kejeniusan lokal dan kebudayaan yang ada sebelum masuknya Hindu menyatu dengan perkembangan seni pertunjukan yang masuk memberi warna tersendiri pada seni pertunjukan di Indonesia. Sampai saat ini, catatan awal yang bisa didapat tentang pertunjukan wayang berasal dari Prasasti Balitung di Abad ke 4 yang berbunyi si Galigi mawayang

Ketika agama Hindu masuk ke Indonesia dan menyesuaikan kebudayaan yang sudah ada, seni pertunjukan ini menjadi media efektif menyebarkan agama Hindu. Pertunjukan wayang menggunakan cerita Ramayana dan Mahabharata.

Demikian juga saat masuknya Islam, ketika pertunjukan yang menampilkan “Tuhan” atau “Dewa” dalam wujud manusia dilarang, munculah boneka wayang yang terbuat dari kulit sapi, dimana saat pertunjukan yang ditonton hanyalah bayangannya saja. Wayang inilah yang sekarang kita kenal sebagai wayang kulit. Untuk menyebarkan Islam, berkembang juga wayang Sadat yang memperkenalkan nilai-nilai Islam.

Ketika misionaris Katolik, Pastor Timotheus L. Wignyosubroto, SJ pada tahun 1960 dalam misinya menyebarkan agama Katolik, ia mengembangkan Wayang Wahyu, yang sumber ceritanya berasal dari Alkitab.



(Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Wayang)